Hasil Konvensi Chicago 1944 masih menyisakan beberapa masalah dalam pengaturan penerbangan sipil internasional. Untuk mengatasi hal tersebut maka mau tidak mau kerjasama bilateral dan regional dibutuhkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Salah satu organasasi regional yang sangat gencar untuk membuat unifikasi mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan sipil internasional adalah Uni Eropa.
Kesadaran untuk melakukan kerjasama tersebut merupakan inisiatif dari Dewan Eropa setalah melihat perkembangan pengangkut udara di Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara. Untuk mencapai kerjasama tersebut maka pada pertemuan parlemen dewan eropa tahun 1950 diusulkan beberapa ide yaitu :
1) Membentuk Otoritas Transport Eropa (European Transport Authority). Lembaga tersebut akan memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengaturan mengenai jalan raya, kereta api, navigasi pantai, pengangkutan serta penerbangan. Usulan ini diungkapkan oleh Bonnefous perwakilan dari Perancis. Beliau mengusulkan agar otoritas tersebut berbentuk supranasional. Usulan tersebut ditolak oleh sebagian negara Eropa dengan alasan nasionalisme
2) Ide kedua dikemukakan oleh perwakilan Italia, Count Sforza. Ide beliau adalah untuk membatasi penerbangan sipil. Setiap negara harus mendelegasikan sebagian kedaulatanya untuk mencapai unifikasi dalam sektor hukum, teknik dan komersil. Beliau mengusulkan bentuk konsorsium.
3) Usul ketiga disampaikan oleh Van der Kieft, yang mengusulkan agar dibentuk sebuah organisasi penerbangan sipil Eropa dengan tujuan untuk mencapai kesatuan (I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, loc.cit.,hlm. 36)
Pada akhirnya disepakati bahwa dibentuklah The European Civil Aviation Conference (ECAC) pada tahun 1955. Nampaknya usulan dari Van der Kieft yang diterima oleh komunitas Uni Eropa. Tujuan dari ECAC tersebut adalah untuk melakukan unifikasi dan fasilitasi dalam hal; angkutan udara dan kerjasama dengan ICAO. Selain itu tujuan awal ECAC adalah untuk mengulas perkembangan pengangkut udara sipil di Uni Eropa, untuk promosi kerjasama demi mencapai efektivitas dalam unifikasi, memperhatikan perkembangan pengangkut udara di Eropa serta mempertimbangkan masalah-masalah yang akan timbul dikemudian hari(I.H.Ph.Diederiks-Verschoor, op.cit., hlm. 37)
Pada tahun 1976 organ permanen dibentuk yang terdiri dari Directors General of Civil Aviation (DGCA). Usaha-usaha yang telah dicapai oleh ECAC adalah:
1) Perjanjian multilateral atas hak-hak komersil penerbangan tidak berjadwal di Eropa
2) Perjanjian multilateral tentang sertifikasi kelayakan udara terhadap pesawat udara impor
3) Perjanjian internasional terhadap prosedur dalam penentuan tarif atas penerbangan berjadwal (ibid)
Namun, perkembangan terakhir ECAC memperlihatkan usaha-usahanya yang lebih menitikberatkan pada sikap politik negara-negara Eropa terhadap negara ketiga daripada menjalin kerjasama dan melakukan harmonisasi penerbangan udara dalam Eropa. Ternyata dalam perkembanganya ECAC sendiri mendapat kritikan-kritikan dari negara-negara Eropa. Mereka yang melakukan kritik menganggap bahwa dengan adanya aturan regional tersebut malah membuat formasi-penghambat (bloc-formation). Hal ini didasari sebagai faktor yang menghambat unifikasi, selain alasan tersebut, kritikan dilemparkan karena beberapa pengangkut udara di Eropa memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan yang lain. Maka mereka menuntut perlakuan yang seimbang (Ibid.)
Pada akhirnya dapat dilihat bahwa pengaturan multilateral di Eropa untuk mewakili kepentingan nasional negara Eropa juga mengalami kegagalan. Usulan untuk membentuk High Authority juga cukup sulit untuk dilaksanakan, karena ternyata kepentingan nasional masing-masing negara berbeda satu sama lain.
Usaha-usaha Uni Eropa untuk menciptakan unifikasi dan harmonisasi dalam hal keselamatan penerbangan berhasil terbentuk dengan dikeluakan (EC) No 1592/2002 pada 15 Juli 2002 yang mengatur aturan bersama mengenai penerbangan sipil serta pembentukan European Aviation Safety Agency (EASA). Regulasi tersebut membuat standar kesalamatan yang diberlakukan oleh Uni Eropa selain juga mengakui standar keselamatan minimum yang telah diatur dalam Konvensi Chicago dan ICAO. Standar keselamatan yang terdapat dalam regulasi tersebut terdiri dari :
1) Kelayakan udara (Pasal 5)
2) Syarat untuk perlindungan terhadap lingkungan (Pasal 6)
3) Lisensi operasi dan kru penerbangan (Pasal 7)
4) Pengakuan sertifikat (Pasal 8 )
5) Penerimaan atas persetujuan negara ketiga (Pasal 9)
6) Ketentuan Fleksibel (Pasal 10)
Dengan dikeluarkannya EASA tersebut maka diharapkan keselamatan penerbangan sipil di Eropa dapat terlaksana dengan baik. Hubungan antara Uni Eropa dengan negara ketiga juga banyak diatur dalam ketentuan EASA tersebut.
Pada saat larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia lahir pada tahun 2007. Uni Eropa mendasarkan pendapatnya pada :
1) Adanya bukti dari otoritas penerbangan sipil Indonesia bahwa kecelakaan yang dialami oleh pengangkut sipil Indonesia terjadi karena para operator tersebut tidak memenuhi persyaratan standar keselamatan.
2) Adanya rating yang dikeluarkan oleh FAA ( Amerika Serikat), yang menilai rendah tingkat keselamatan di Indonesia serta tidak dipenuhinya standar keselamatan yang diatur oleh ICAO
3) Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007 yang melaporkan bahwa kapabilitas otoritas penerbangan sipil Indonesia terhadap pengawasan keselematan sangat kurang.
4) Kompetensi otoritas penerbangan sipil Indonesia dalam melaksanakan dan menegakkan standar keselematan. Serta tidak segera memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh komisi Eropa ((EC) No.787/2007)
Empat pertimbangan tersebut yang menjadi cikal bakal larangan terbang pengangkut dari Indonesia ke Eropa. Dari keempat poin di atas, yang menjadi krusial adalah hasil audit yang dilakukan oleh ICAO pada bulan Februari 2007. Hasil audit tersebut menunjukkan hal-hal penting mengenai keselamatan penerbangan di Indonesia. Audit tersebut memberikan rekomendasi-rekomendasi yang harus dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil di Indonesia. Hasil audit dan rekomendasi dari ICAO tersebut adalah :
1) Rekomendasi terhadap Undang-Undang Penerbangan dan Ketentuan mengenai Penerbangan Sipil
2) Rekomendasi terhadap Organisasi Penerbangan Sipil
3) Rekomendasi terhadap Lisensi Personil dan Pelatihan
4) Rekomendasi terhadap Sertifikasi Pengangkut Udara dan Pengawasan
5) Rekomendasi terhadap Kelayakan Udara
6) Rekomendasi terhadap Kecelakaan Pesawat dan Penyelidikan kecelakaan
7) Rekomendasi terhadap Navigasi Udara
8 ) Rekomendasi terhadap Aerodromes (Bandara Perintis) (www.icao.int/usoap,Appendix I)
Hasil audit juga menyatakan bahwa implementasi dalam hal pengawasan keselamatan yang belum efektif dilakukan oleh Indonesia adalah:
1) Kualifikasi dan Pelatihan staf tekhnik ( 80%)
2) Sistem Penerbangan Sipil dan Fungsi Pengawasan Keselamatan (50,94%)
3) Resolusi mengenai keselamatan (50%)
4) Undang-Undang Penerbangan (41,67%)
5) Prosedur dan Petunjuk Tekhnis (38,65%)
6) Kewajiban Pengawasan (36,47%)
7) Ketentuan Khusus Pelaksanaan (33,74%)
8 ) Lisensi dan Sertifikasi (28,97%) (www.icao.int/usoap ,Appendix II)
Hasil audit yang dilakukan oleh ICAO secara jelas dapat diartikan bahwa banyak hal yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil. Jika melihat hasil audit tersebut maka dapat dibenarkan tindakan Uni Eropa memberlakukan larangan terbang terhadap pengangkut dari Indonesia. Ketentuan tersebut diputuskan berdasarkan ketentuan dalan EASA yang menganut perlindungan keselamatan penerbangan bagi warga negara mereka.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa apakah larangan terbang yang dikeluarkan oleh Komite Eropa itu bersifat mengikat para negara-negara Eropa?. Hal ini terkait karena terdapat perjanjian-perjanjian bilateral yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara Eropa sedangkan Indonesia tidak memiliki perjanjian penerbangan sipil dengan Uni Eropa.
Pada tanggal 30 April 2004 Komite Eropa mengeluarkan aturan (EC) No. 847/2004 tentang ketentuan mengenai perjanjian antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga. Dalam konsideran poin pertama telah dinyatakan bahwa perjanjian bilateral antara negara anggota Uni Eropa dengan negara ketiga telah terjadi sebelum ketentuan ini dikeluarkan. Akan tetapi terdapat ketentuan lain yang menyatakan bahwa, berdasarkan putusan pengadilan Eropa, komunitas Eropa memiliki hak ekslusif atas perjanjian tersebut. Jika ketentuan tersebut demikian, apakah perjanjian pengangkut udara antara negara-negara anggota Uni Eropa menjadi batal demi hukum berdasarkan putusan dari pengadilan Eropa tersebut?.
Apabila dilihat bahwa dalam mengeluarkan (EC) No. 787/2007, Komite Eropa menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah disepakati oleh 27 negara anggota Uni Eropa, maka perjanjian bilateral sebelum ketentuan tersebut keluar menjadi batal. Dengan batalnya perjanjian pengangkut udara tersebut maka masing-masing pihak, baik pengangkut dari negara anggota Uni Eropa maupun dari Indonesia tidak dapat melintas di wilayah teritorial masing-masing, meskipun Indonesia tidak mengeluarkan larangan yang sama terhadap pengangkut sipil dari Uni Eropa. Hal ini dikarenakan sesuai dengan ketentuan dari Konvensi Chicago 1944, pasal 6, yang menyatakan bahwa setiap penerbangan berjadwal harus mendapatkan izin dari negara kolong. Izin penerbangan sipil komersil tersebut biasanya dapat dilakukan apabila telah terjalin perjanjian pengangkut udara baik secara bilateral maupun multilateral.
C. Penyelesaian Sengketa Atas Larangan Terbang Uni Eropa
Setiap sengketa dalam ruang lingkup masyarakat internasional pertama kali harus merujuk pada piagam PBB. Prinsip dalam piagam adalah bahwa setiap sengketa antara negara anggota PBB harus diselesaikan secara damai sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu (Pasal 2 (3) Piagam PBB).
Menurut Diederiks-Verschoor terdapat beberapa kemungkinan jurisdiksi dalam menyelesaikan sengketa dalam masalah penerbangan, yaitu :
1) Mahkamah Internasional, dengan melihat jurusdiksi umum yang terdapat dalam pasal 36 ayat 1 Statuta.
2) Yurisdiksi berdasarkan Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
3) Sebelum sampai pada dewan (council) ICAO; maka para pihak harus menyatakan “compulsory jurisdiction”, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
4) Sebagai badan khusus PBB, ICAO, dapat meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional sesuai dengan pasal 96 (2) Piagam PBB
5) Banding terhadap putusan dewan ICAO, Pasal 84 Konvensi Chicago 1944.
6) Opsional Yurisdiksi oleh dewan ICAO.
7) Arbitrase berdasarkan perjanjian bilateral maupun multilateral.
8 ) Arbitrase oleh Chamber dari Mahkamah Internasional.
9) Arbitrase melalui maskapai yang terdapat dalam International Air Transport Association (IATA) (.H.Ph.Diederiks-Verschoor, Settlements of Disputes in Aviation and Space, in The Use of Air and Outer Space; Cooperation and Competition, edited by Chia-Jui Cheng, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 232)
Dalam sengketa penerbangan sipil internasional maka ketentuan khusus yang dapat digunakan sudah pasti Konvensi Chicago 1944. Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam pasal 84,85,86,87 dan 88. Ketentuan pasal 84 konvensi menyatakan apabila ketidaksepahaman terjadi mengenai interpretasi dan pelaksanaan konvensi serta annex-nya maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui dewan ICAO.
Mengenai larangan terbang yang diberlakukan secara unilateral oleh Uni Eropa terhadap pengangkut dari Indonesia, hal ini tidak termasuk dalam hal perbedaan interpretasi dan implementasi dari konvensi dan annex-nya. Jika demikian maka penggunaan ketentuan penyelesaian sengketa dalam konvensi Chicago 1944 tidak dapat diberlakukan dalam sengketa di atas.
Penyelesaian sengketa yang utama sudah pasti adalah melalui negosiasi. Negosiasi yang telah dilakukan selama ini belum membuahkan hasil dicabutnya larangan terbang tersebut. Indonesia harusnya mengajukan keberatan kepada ICAO, sebab Indonesia sedang berusaha untuk memperbaiki sistem keselamatan penerbangang sipilnya. Komitmen tersebut dapat terlihat dengan jelas dalam deklarasi yang dilakukan antara Indonesia dengan ICAO di Bali tanggal 2 Juli 2007. Indonesia kemudian meminta kepada ICAO untuk meminta nasihat hukum kepada mahkamah internasional, apakah tindakan unilateral Uni Eropa dapat dibenarkan. Alasan yang dapat dikemukakan oleh Indonesia adalah bahwa dengan adanya larangan tersebut maka Indonesia khususnya pengangkut Indonesia mengalami kerugian secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang, melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”.
Usaha tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan Indonesia selain juga harus memperbaiki sistem keselamatan penerbangan sipil komersil. Hal tersebut perlu dilakukan karena apabila larangan terbang tersebut dibiarkan berlarut-larut maka citra penerbangan sipil Indonesia menjadi buruk. Efek dari citra tersebut akan berdampak pada posisi Indonenesia dalam pergaulan masyarakat internasional.